Definisi Hadits
ULUMU AL-HADITS
A. Terminologi Hadits Nabawi
1.Definisi dan Perbedan Antara Hadits, Sunnah, Atsar, dan Khabar.
a. Hadits
Hadits menurut Etimologi adalah:
o Jadid, lawan dari qodim: yang baru
o Qorib: yang dekat,yang belum lama terjadi
o Khobar: warta yaitu sesuatu yang di percakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang yang lain. Dari makna inilah diambil perkataan hadits.
Hadits menurut terminologi adalah :
Segala
ucapan, perkataan, dan keadaan Nabi. Yang dimaksud keadaan adalah
segala yang diriwayatkan dalam kitab sejarah, seperti kelahirannya,
tempatnya dan yang bersangkut paut dengannya.
Menurut Ahli Ushul, Hadits adalah: ‘segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi yang berhubungan denga hukum”.
Menurut arti lain Hadits
adalah “segala sesuatu yang disadarkan pada Nabi SAW baik berupa
perkataan, pekerjaan, ketetapan, maupun sifat beliau yang adakalanya itu
disunnahkan/dijelaskan pada umat Islam ataupun khusus untuk Nabi”.
b. Sunnah
Sunnah menurut Etimologi adalah:
Jalan yang dijalani, yang terpuji ataupun jelek.
Sunnah menurut Terminologi adalah:
Segala
yang dinukil dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir,
pengajaran, sifat, kelakuan, dan perjalanan hidup beliau sebelum diutus
atau sesudahnya.
Menurut istilah syara’, Sunnah adalah ” segala sesuatu yang bersumber dari Nabi baik perkataan, pekerjaan, dan ketetapan beliau yang menjadi dalil syara’ “.
Menurut fuqoha’, Sunnah adalah “suatu suruhan yang tidak difardlukan dan tidak diwajibkan, yang tidak berat suruhannya”.
- Perbedaan sunnah dan hadits
Dapat disimpulkan garis pebedaan antara keduanya, Yaitu :
Hadits
adalah segala peristiwa yang disandarkan pada Nabi walaupun hanya
sekali saja terjadinya dalam sepanjang hidup Nabi walaupun hanya
diriwayatkan satu oarang saja .
Sunnah adalah sebutan bagi amaliah yang mutawatiroh yakni cara Rasul melaksanakan suatu ibadah yang dinukilkan kepada kita dengan amaliah yang mutawatir.
Ada
yang berpendapat: hadits khusus dengan perkataan dan perbuatan,
sedangkan sunnah lebih umum. Sebagian ulama ada yang memasukkan
perkataan dan perbuatan sahabat dan tabi’in dalam pengertian Sunnah.
Yang mendukung pendapat ini adalah hadits yang berbunyi :
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بَشِيرِ بْنِ ذَكْوَانَ الدِّمَشْقِيُّ
حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
الْعَلَاءِ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَبِي الْمُطَاعِ قَالَ سَمِعْتُ
الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ يَقُولُ: قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً
بَلِيغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ
فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَعَظْتَنَا مَوْعِظَةَ مُوَدِّعٍ فَاعْهَدْ
إِلَيْنَا بِعَهْدٍ فَقَالَ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي
اخْتِلَافًا شَدِيدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin sesudahku. Peganglah ia dengan teguh”.(Sunan Ibn. Majah).
Menurut Al-Imam Al-Kamal Ibnu Humam, Sunnah adalah: segala yang diriwayatkan dari Nabi baik perkataan atau perbuatan ,sedang hadist tentu perkataan saja”.
c. Khabar
Khabar memiliki
arti yang hampir sama dengan hadits. Sehingga khabar lebih layak
dijadikan sinonim hadits daripada sunnah. Hal ini dikarenakan tahdits
(pembicaraan) artinya tidak lain adalah ikhbar (pemberitaan). Hadits
rasulullah adalah berita – berita yang disandarkan kepada Nabi saw.
hanya saja kata “Akhbary” digunakan untuk menyebut orang–orang yang menekuni bidang sejarah. Dan “Muhaddist” diberikan untuk ulama ahli hadits atau sannah.
Pergeseran
makna ini memberikan implikasi pada pada kedua lafad tersebut. Yakni
antara hadits dan khabar ada pengertiaan umum dan khusus. Setiap hadits
itu pasti khabar dan tidak sebaliknya. Artinya, tidak setiap khabar itu
hadits.
Hadits
atau sunnah memberikan pengertian bahwa perawi mengutip hadits yang
disandarkar kepada Rasulullah saw (marfu’). Sedang khabar tidak hanya
mencakup hadits marfu’ saja akan tetapi juga mengakomodasi yang mauquf
(perawi hanya bersumber dari sahabat saja tidak sampai pada
rasulullah). Bahkan juga yang hanya berhenti sampai tingkatan tabi’in (maqtu’) saja.
d. Atsar
Atsar menurut Etimologi adalah : Bekas / Sisa sesuatu
Atsar menurut Terminologi adalah:
Pengertian
untuk Hadits, Sunnah, dan Khabar yang disandarkan kepada Sahabat dan
Tabiin. Oleh karenanya, para ahli hadits lantas memandang Atsar yang
diidintikkan dengan Hadits Sahabat (mauquf) atau Tabiin (maqtu’)
Atsar menurut istilah jumhur artinya sama dengan khobar dan hadits.
Para fuqoha’ memakai perkataan Atsar untuk perkataan ulama salaf, sahabat, tabiin dan lain-lain. Ada yang mengatakan atsar lebih umum daripada khobar.
Al Imam Al-Nawawi menerangkan bahwa fuqoha’ khurosan menamai perkataan sahabat ( hadist mauquf ) dengan atsar, dan menamai hadist Nabi dengan Khabar.
Tapi para muhadditsin umumnya menamai hadist Nabi dan perkataan sahabat
dengan atsar juga, dan setengah ulama memakai pula kata atsar untuk
perkataan-perkataan tabiin saja.
2.Bentuk-bentuk Hadits Nabawi
Hadits ataupun Sunnah terbagi menjadi beberapa bentuk, antara lain:
a. Qauliyyah
Hadits
/ Sunnah Qauliyyah adalah Hadits-hadits Nabi saw. Yang disampaikan
dalam berbagai hal dan keadan yang diterbelakangi oleh berbagai tujuan,
seperti beliau bersabda:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ
سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ عَنْ عَلْقَمَةَ
بْنِ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا
نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ
إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا
أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
(سنن أبي داود)
b. Fi’liyyah
Hadits
/ Sunnah Fi’liyyah adalah semua perbuatan Nabi saw. Yang disampaikan
oleh sahabat kepada kita seperti tatcara beliau Shalat, Puasa, Haji dan
lain-lain. Contoh:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ (صحيح البخاري)
c. Taqririyyah
Hadits
/ Sunnah Taqririyyah adalah Hadits yang berupa ketetapan atau
penelitian Rasulullah saw. Terhadap perkataan atau perbuatan Shahabat,
seperti yang dikabarkan oleh Shahabat:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ تَوْبَةَ قَالَ قَالَ الشَّعْبِيُّ لَقَدْ
صَحِبْتُ ابْنَ عُمَرَ سَنَةً وَنِصْفًا فَلَمْ أَسْمَعْهُ يُحَدِّثُ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا حَدِيثًا
وَاحِدًا قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُتِيَ بِضَبٍّ فَجَعَلَ الْقَوْمُ يَأْكُلُونَ (مسند أحمد)
3.Perbedaan antra al-Qur’an, Hadits Qudsi, dan Hadist Nabawi.
a. Al-Qur’an
adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad s.a.w. yang mana redaksi dan subtansinya maknanya berasal
dari Allah swt. Dalam hal ini Rasul tidak memiliki otoritas sama sekali unutuk merangkai kata-kata al-Qur’an.
b. Hadits Qudsi
secara etimologi berarti suci. Sedang secara terminologi adalah hadits
yang Nabi riwayatkan dari Allah selain Al-Quran yang redaksinya dari
Nabi sendiri.
Menurut Al-Thibi
“hadits Qudsi adalah Titah Allah yang disampaikan kepada Nabi dalam
mimpi, atau jalan ilham, lalu beliau menerangkan mimpinya dengan susunan
pekataan beliau sendiri, serta menyandarkan kepada Alloh.
Menurut Abdul Baqi Al-Ukbari Al-Quran
adalah “wahyu yang lafad dan maknanya dari Allah”. Sedangkan Hadaits
Qudsi adalah “wahyu yang redaksinya dari Rasul sedang maknanya dari
Allah diturunkan dengan jalan ilham atau mimpi.
- Secara garis besar keduanya dapat dibedakan sebagai berikut:
o Setiap
makna dan lafad Al-Quran dari Allah dan menjadi wahyu yang agung, dan
diturunkan secara mutawatir melaui jibril. sedang Hadits Qudsi tidak
begitu “diturunkan melalui mimpi/ilham”.
o Al-Quran
sebagiai mu’jizat, setiap orang yang membacanya dicatat sebagai ibadah,
dan tidak sah sholat seseorang tanpa ada surat Al Quran. sedang hadits
Qudsi tidak seperti itu
o Pernyataan
yang digunakan nabi dalam al-Qur’an adalah: ”Allah telah berfirman”.
Sedangkan dalam Hadits Qudsi statemen yang dipakai adalah: ”Allah telah
meriwayatkan kepadaku”.
o Mushaf al-Qur’an hanya boleh dipegang oleh orang yang dalam keadaan bersih (suci), sedangkan Hadits Qudsi tidak.
o Dan masih banyak perbedaan-perbedaan lainnya yang tidak munglin saya sebutkan semuanya disini.
c. Hadits Nabawi adalah
yang mana bahasa maupun maknanya berasal dari Nabi saw sendiri.
Meskipun demikian bukan berarti apa yang dikatakan oleh Nabi merupakan
sesuatu yang berasal dari nafsu belaka, karena hal ini bertentangan
dengan al-Qur’an surat al-Najm ayat 4 yang berbunyi:
وماينطقوا عن الهوى ان هوالاوحي يوحى.
Akan
tetapi mempunyai pengertian bahwa Hadits Nabawi dalam proses terjadinya
dari Nabi tidak harus menunggu intruksi wahyu dari Allah.
B. Kodifikasi Hadist
1.Alasan Tertundanya Penulisan Hadist
Sajak
pertama Nabi mencurahkan Perhatian besar bagi penulisan Al-qur’an.
Karena itu Al-qur’an bebas dari segala bentuk kekeliruan atau perubahan.
Sadangkan kasus Haditst – menurut keyakinan kami – meskipun ada izin
atau perintah Nabi dalam kaitannya dengan penulisan hadits, dan meskipun
kenyataannya hadits telah ditulis selama masa hidup Nabi, namun tugas
penulisan hadits bukan saja tidak diperhatikan akan tetapi ditentang,
dan pertentangan ini banyak melahirkan masalah yang berkaitan dengan
hadits.
Penundaan
penulisan hadits ini akibatnya yang berbahaya telah membawa sekelompok
orang melimpahkan kesalahan kepada Nabi. Mereka tau bahwa penentangan
penulisan hadits datang dari Nab, tidak akan dianggap salah karena Nabi
adalah Ma’shum (terjaga), tetap jika penentangan itu dinisbatkan kepada
yang lain, maka kelemahan mereka terungkap karena menisbat larangan
tersebut kepada Nabi, seperti hadits yang telah diriwayatkan oleh Abu
sa’id Al-Khudri yang berbunyi: jangan tulis dariku kecuali al-Qur’an, dan bagi siapapun yang menulisnyahendaknya menghapusnya.
Pernyataan
ini sudah jelas dan gamblang sekali bahwa penulisan hadits tidak
diizinkan. Sesuai dengan penjelasan ini, tiap orang yang elah menulis
apa saja tentang Hadist wajib memusnahkannya. Karena kejelasan dan
ketegasan inilah dan karena alasan-alasan lainnya, kami tidak mendapat
menerima keshahian pernyataan ini atau pernyataan lain yang seperti ini.
Alasan kami menolak hadits ini adalah sebagai berkut:
2.Masa Kodifikasi dan Pengumpulan Hadits.
a. Periode pertama
Periode
pertama adalah masa wahyu dan pembentukan masyarakat. Pada masa ini
Nabi SAW. hidup di tengah-tengah masyarakat pada umumnya dan di tengah
sahabat pada khususnya, baik sewaktu tinggal di Makkah maupun setelah
Hijrah ke Madinah. Pada masa permulaan ini jumlah umat Islam hanyalah
beberapa gelintir orang saja. Mula-mula mereka tinggal di rumah al-Arqam
bin Abdu Manaf, yang terletak di kota Madinah. Disitu mereka
mempelajari agama Islam, mempelajari al-Quran, serta mereka melakukan
dakwah yang pada awalnya mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi.
Bersamaan dengan berjalannya waktu akhirnya Islampun mulai berkembang,
sehingga membentuk komunitas yang lebih besar. Di era tersebut Kota
Madinah masih memiliki sembilan masjid. Maka pada awal-awal perkembangan
itu, Nabi memerintahkan kepada umat Islam untuk mempelajari baca tulis.
Dan nabi memprioritaskan terhadap penulisan al-Quran.
Adapun
hadist pada waktu itu, belum begitu diperhatikan seperti halnya
al-Quran yang sejak awal mendapatkan perhatian khusus. Bahkan pada
awal-awal turunnya wahyu, Nabi SAW melarang para sahabatnya untuk
menulis hadist. Karena dikhawatirkan akan tercampur dengan al-Quran, dan
juga supaya semua potensi ditujukan dan diarahkan pada al-Quran.
Sehingga pada saat itu hadist terdokumentasikan dalam bentuk hafalan
saja.
Berikut ini contoh Hadist Nabi SAW yang melarang penulisan hadits.
لاتكتبوا عنى شيئا غيرالقران فمن كتب عنى شيئاغيرالقران فليمحه
Artinya
“ Jangan menulis apa-apa selain al-Quran dari saya, barang siapayang
menulis dari saya selain al-Quran maka hendaklah menghapusnya”.(HR.
Muslim dari Abu Said a-Khudry).
Namun
ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Nabi SAW memberikan izin
kepada sebagian sahabatnya untuk menulis hadist. Hal itu bertujuan untuk
membantu dalam proses hafalan mereka. Namun pada ujungnya disaat
periode terakhir masa-masa kehidupan Nabi mereka mengkodifikasikannya.
Diantara para sahabat yang telah mendapatkan lisensi adalah Abdulloh bin
Amr bin Ash (7SH-65H), Dia memiliki kumpulan hadist yang dikenal dengan
Sahifah as-Sadiqah, sahifah ini memuat seribu hadist. Disamping itu dijumpai sebuah kitab hadist Sahifah Jabir bin Abdillah yang ditulis oleh Jabir bin Abdulloh al-Ansari (16-74H). dan yang terakhir Sahifah Sahihah yang disusun oleh Human bin Munabbih (40-131H).
Contoh hadist yang memperbolehkan penglodifikasian hadist adalah.
اكتبواعني فوالذى نفسى بيده ماخرج من فمى الاحق
Artinya “ Tulislah dari saya demi zat yang diriku di dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali yang hak “.
Di masa ini, dapat disebutkan beberapa cara sahabat dalam menerima hadist.
Pertama hadist diterima secara langsung.
Melalui majlis pengajian nabi yang diadakan pada waktu-waktu tertentu.
Adanya perilaku umat yang disaksikan oleh nabi secara langsung dan menghendaki panjelasan dari nabi.
Pertanyaan yang diajukan oeh sahabat atau permintaan penjelasan sahabat kepada Nabi SAW.
Ada peristiwa yang langsung dialami Nabi SAW dan para sahabat menyaksikannya.
Kedua hadist diterima secara tidak langsung, yang disebabkan beberapa factor.
Kesibukan yang dialami sahabat.
Tempat tinggal sahabat yang jauh.
Persaan malu untuk bertanya langasung kepada Nabi SAW.
Jadi
pada masa ini terdapat perbedaan tingkat penerimaan hadist dilkalangan
sahabat. Selain karena sebab-sebab diatas factor lain adalah tingkat
kemampuan termasuk tingkat kecerdasan diantara mereka yang menetukan
kualitas penerimaan hadist.
b. Periode kedua
Tepatnya
periode ini adalah masa kepemimpinan khulafa ar-Rasyidin, Abu Bakar
as-Siddik, Umar bi Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Tholib
(10H-40H). Persoalan yang menonjol serta banyak menyita perhatian para
sahabat pada periode ini, disamping usaha penyebarluasan Islam adalah
soal ketatanegaran dan soal kepemimpinan umat. Persoalan-persoalan
tersebut menumbuhkan perpecahan dikalangan intern umat, yang merambat
pada lahirnya berbagai macam fitnah dan intrik. Yang pada tataran
selanjutnya Hadist pun juga tak luput dari dampak tersebut. Sehingga
wajar kalau Abu Bakar dan Umar menyerukan pada umat Islam untuk
berhati-hati dan cermat dalam meriwayatkan Hadist. Serta meminta para
sahabat untuk secara teliti memeriksa riwayat Hadist yang mereka terima.
Beberapa
sumber mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar tidak akan menerima hadist
kalau tidak disaksikan kebenarannya oleh saksi yang lain. Hal itupun
juga diikuti sahabat-sahabat yang lainnya. Contohnya sahabat Ali, Ia
tidak menerima hadist sebelum yang meriwayatkan disumpah terlebih
dahulu. Semua itu menunjukkan bahwa betapa ketatnya para sahabat dalam
menerima hadist. Namun berkenaan dengan semakin luasnya wilayah Islam,
yang tepatnya di masa pemerintahan Ali dan Ustman maka larangan terhadap
periwatan hadist tidak lagi dapat dilakukan dengan tegas seperti pada
masa Abu Bakar dan Umar. Karena banyak dari sahabat yang sudah berpencar
ke daerah-daerah baru. Akibatnya penyebaran dan pengembangan riwayat
secara lebih jauh tidak terhindarkan lagi.
Adapun penyeberan hadist pada masa ini menggunakan lisan, dan hanya
pada saat yang diperlukan. Misalnya jika umat Islam menghadapi suatu
permasalahan yang menuntut penjelasan dari hadist. Maka pada saat itulah
hadist baru dipakai untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
c. Periode ketiga
Periode
ini disebut periode penyebaran riwayat. Ini berlangsung pada masa
sahabat kecil dan tabiin besar. Penakhlukan beberapa kota diantaranya
Syam dan Irak (17H), Mesir (20H), Persia (21H), Samarkand (56H), dan
Spanyol (93H) menuntut para sahabat untuk berpindah ke tempat-tempat
baru dengan tujuan mengajarkan agama Islam. Adapun perkembangan
selanjutnya sahabat yang mendengar riwayat (Hadist) , yang belum pernah
didengarnya merasa perlu melakukan pengecekan dengan melawat ke kota di
mana sahabat yang meriwayatkan hadist tersebut tinggal. Kedatangan
sahabat tersebut dimanfaatkan oleh golongan tabiin untuk mendengarkan
pengajaran-pengajaran daripadanya.
Dalam riwayat Bukhori Ahmad, at-Tabari, dan al-Baihaki disebutkan bahwa
Jabir pernah pergi ke Syam menanyakan sebuah hadist kepada seorang
sahabat yang tinggal disana. Hal demikian juga pernah dilakukan oleh
Ayyub al-Anshari yang melawat ke Mesir hanya untuk menemui Uqbah bin
Nafi.
Periode
ini ditandai oleh aktifnya generasi tabiin menyerap hadist dari
generasi sahabat. Sehingga pada masa itu muncullah istilah “Bendaharawan Hadist”,
yaitu para sahabat yang meriwayatkan hadist lebih dari seribu hadist.
Diantara mereka adalah Abu Hurairah (meriwayatkan 5374 hadist), Abdullah
bin Umar bin Khattab, (meriwayatkan 2630 hadist), Anas bin Malik,
,meriwayatkan (2266 hadist), Aisyah, meriwayatkan (1210 hadist),
Abdullah bin Abbas, meriwayatkan (1660 hadist), Jabir bin Abdullah,
meriwayatkan (1540 hadist), Abu Said al-Khudari, meriwayatkan (1170
hadist). Sedangkan dari golongan tabiin yang tercatat sebagai tokoh
hadist pada periode ini adalah Said dan Urawah di Madinah, Ikrimah dan
Ata bin Abi Robbah di Makkah, asy-Sya’bi dan Ibrahim an-Nakhai di Kufah,
Abu Qotadah dan Muahmmad bin Sirin di Basra, Umar bin Abdul Aziz dan
Qobisah bin Zuaib di Syam, Abu Khoir Marsad al-Yazini dan Yazid bin
Habib di Mesirl, dan Taus bin Khoiman di al-Yamani serta Wahab bin
Muanabbih di Yaman.
Pada
era tersebut juga terdapat beberapa sahabat yang ,menyedikitkan
riwayat. Alasannya, mereka takut terjerumus dalam kedustaan, serta takut
akan banyaknya hadist yang terlupakan dikarenakan usianya yang telah
lanjut. Az-Zubair dan Zaid bin Arqom adalah contoh dari sekian sahabat
yang mengambil sikap seperti itu.
Sedangkan
dari golongan tabiin yang tercatat sebagai tokoh hadist pada periode
ini adalah Said dan Urawah di Madinah, Ikrimah dan Ata bin Abi Robbah di
Makkah, asy-Sya’bi dan Ibrahim an-Nakhai di Kufah, Abu Qotadah dan
Muahmmad bin Sirin di Basra, Umar bin Abdul Aziz dan Qobisah bin Zuaib
di Syam, Abu Khoir Marsad al-Yazini dan Yazid bin Habib di Mesirl, dan
Taus bin Khoiman di al-Yamani serta Wahab bin Muanabbih di Yaman.
Perkembangan
selanjutnya terjadi perpecahan dikalangan umat Islam, karena persoalan
kholifah dan politik. Dan hal itu merembet pada perang saudara antara
Ali cs, dan Muawaiyah cs. Perseteruan itu banyak membawa korban
dikalangan umat Islam. Pada akhirnya situasi perpolitikan yang demikian
itu memberi peluang berkembangnya pemalsuan hadist. Hadist palsu
tersebut digunakan untuk menjastifikasi golongan mereka masing-masing.
Contoh hadist palsu yang dibuat golongan syiah.
من مات وفى قلبه بغض لعلى فليمت يهد يااو نصرانيا
Artinya: “siapa yang mati dan dalam hatinya ada rasa benci kepada Ali, maka hendaklah mati sebagai orang Yahudi atau Nasrani.”
Contoh hadist palsu yang dibuat golongan Muawiyah.
الامناء عندالله ثلا ثة : انا وجبريل ومعويه
Artinya: “ orang yang terpercaya oleh Alloh hanya tiga, yakni Aku (Nabi), Jibril, Muawiyah”.
d. Periode keempat
Periode
keempat berlangsung dari masa Kholifah Umar bin Abdul Aziz (99H-102H)
sampai akhir abad kedua Hijriah. Kholifah Umar bin Abdul Aziz yang
tumbuh dalam ikllim keilmuan, membentuk pribadi yang cinta akan ilmu
pengetahuan. Selain itu beliau juga terkenal jujur. Sehingga ketika Ia
menangkap kenyataan bahwa banyak dari para penghafal hadist yang wafat,
serta semakin berkembangnya hadist palsu, maka tergeraklah hatinya untuk
mengkodifikasikan hadist. Ia khawatir kalau tidak segera dibukukan maka
hadist pasti akan berangsur-angsur hilang. Kekhawatiran itulah yang
menyebabkan kholifah memerintahkan Gubernur Madinah Abu Bakar Muhammad
bin Amru bi Hazm (w 117H) untuk membukukan hadist yang terdapat pada
penghafal Amrah binti Abdurrahman bin Saad bin Zuhairah bin Ades (ahli
fiqih murid Aisyah RA) serta hadist yang ada pada Qosim bin Muhammad bin
Abu Bakar as-Siddiq. Selain itu kholifah juga memerintahkan Muhammad
bin Syihab az-Zuhri (w 124 H) untuk mengumpulkan hadist yang ada pada
para penghafal Hijaz dan Syuriah. Masa ini dicatat oleh sejarah sebagai
masa kodifikasi resmi.
Selanjutnya
bertolak dari sini berkembanglah pengkodifikasian hadist, yang
selanjutnya melahirkan banyak penulis dan penghimpun hadist. Para tokoh
tersebut misalnya: Abdul Malik bin Abdu Aziz bin Juraij (w 159H) di
Makkah, Malik bin Anas / Imam Malik (94-179H), dan Muhammad bin Ishak (w
151H) di Madinah, ar-Rabbi bin Sabih (w 160H), Said bin Urabah (w
167H), dan Hammad bin salamah bin Dinar al-Basri (w167H) di Basra,
Sufyan as-Sauri (w161H) di Kufah, Ma’mar bin Rosyd (95-153H) di Yaman,
Abdurrahman bin Amr al-Auzi (88-157H) di Syam, Abdullah bin al-Mubarak
(118-181H) di Khurasan, Hasyim bin Basyr (104-183H) di Wasit, Jarir bin
Abdul Hamid (110-188H) di Rayy dan Abdullah bin Wahab (125-197H) di
Mesir.
Sistem
pembukuan hadist pada stadium ini adalah, si pengarang menghimpun semua
hadist mengenai masalah-masalah yang sama dalam satu kitab karangan
saja. Dan dalam kitab ini hadist masih bercampur dengan fatwa sahabat
dan tabiin. Belum ada pemilahan mana hadist yang Marfu’, hadist Mauquf,
ataupun hadist Maqtu’, serta antara hadist Sohih, Hasan, dan Dhoif.
Beberapa buku tersebut ada yang dinamakan al-Jami, al-Musnad, al-Musannaf dan lain-lain. Misalnya Musnad as-Syafii, Musannaf al-Auzai dan al-Muwatta karya Imam Malilk yang disusun atas permintaan kholifah Abu Ja’far al-Mansur (144H).
- Periode kelima
Periode
kelima disebut dengan periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan.
Ini berlangsung dari awal abad ke 3 H sampai sampai akhir abad ke 3.
Pada masa ini timbul pertentangan yang hebat antara ulama kalam
(khususnya Mu’tazilah) dengan Ulama hadist. Pertentangan itu berkutat di
sekitar apakah al-Quran itu makhluk atau Bukan?
Golongan
Mu’tazilah beropini bahwa Quran adalah makhluk. Pendapat ini mendapat
suport dari kholifah-kholifah pada waktu itu. Antara lain al-Makmun
(218H) . Ia menginstruksikan kepada seluruh Gubernur di Bagdad untuk
menindak dengan tegas kepada siapa saja yang tidak mau mengatakan bahwa
Quran itu makhluk. Bahkan Ia melarang keras kepada Ulama hadist untuk
berfatwa dan meriwayatkan Hadist kalau tidak mengatakan demikian.
Instruksi tersebut banyak mendapat tentangan dari Ulama hadist
khususnya, dan umat Islam umumnya yang mayoritas beraliran Ahlu Sunnah.
Pada periode tersebut banyak dari golongan ulama yang dipenjara dan di
siksa, antara lain Ahmad bin Hambal karena menentang kholifah al-Makmun
dan penggantinya al-Mu’tasim (w 227 H) dan Watsiq (w 232 H). Namun
ditengah-tengah kegentingan tersebut lahirlah ulama-ulama besar termasuk
Ulama hadist, yang dengan sabar menjaga kemurnian dan kesucian ajaran
Nabi SAW.
Masa
ini dapat dikatakan sebagai masa keemasan dalam sejarah kodifikasi
hadist. Sebab para ulama telah berhasil memisahkan hadist-hadist Nabi
SAW dari yang bukan hadist (fatwa sahabat dan Tabiin) .
kegiatan-kegiatan lainnya di masa ini adalah:
lawatan ke daerah-daerah yang semakin jauh guna menghimpun hadist dari para perowinya.
membuat klasfikasi hadist marfu’, mauquf, dan maqtu’.
menghimpun kritik-kritik yang diarahkan baik pada rowi maupun matan serta memberi jawabannya.
Sebagai tindak lanjut dari pengklasifikasian hadist, lahirlah buku-buku baru yang dinamakan Kitab Sahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad.
Pada masa ini bangkit Imam hadist yang besar yaitu Ishaq bin Ruwaih
yang merintis usaha memisahkan antara hadist Sahih dan tidak. Usaha ini
dilanjutkan oleh Imam Bukhori, sehingga tersusunkah sebuah kitab yang
sistematis berdasarkan bab-bab yang diberi nama Sahih Bukhori. Imam-imam
hadist lainnya, seperti Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu
Majja, mulai menyusun kitab-kitab sunan mereka. Begitu pula Imam Hambali
dengan kitab musnadnya. Penyusun kitab musanad lainnya adalah Musa
al-Abbasi, Musaddad al-Basri, Asad bin Musa, dan Nuaim bin Ahmad
al-Kazai.
f. Periode keenam
Periode
keenam merupakan periode pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan
penghimpunan hadist. Ini dimulai dari abad ke 4 sampai jatuhnya Kota
Bagdad (656H). Pada masa ini lahir istilah ulama Mutakadimin dan ulama Mutaakhirin.
Term-term ini jadikan sebagai pemisah antara ulama yang hidup sebelum
abad ke 4 H (mutakadimin), dan ulama yang hidup sesudah abad 4 H
(Muataakhirin). Perbedaan antara keduanya adalah Ulama Mutakadimin
melakukan kegiatannya secara mandiri. Dalam arti mereka himpunan
hadist-hadistnya tidak dengan jalan mengutipnya dari kitab-kitab hadist
yang ada sebelumnya. Tapi mereka mendengar langsung hadsit-hadist itu
dari guru-gurunya dan mengadakan penelitian sendiri tentang matan serta
perowinya. Untuk itu mereka mengadakan lawatan-lawatan ke berbagai
daerah untuk mencek kebenaran hadist-hadist yang didengarnya.
Adapun
Ulama Mutaakhirin pada umumnya bersandar pada karya-karya Ulama
Mutakadimin dalam arti kumpulan-kumpulan hadist mereka adalah hasil
petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutakadimin. Pada stadium enam ini
tumbuh sebuah asumsi bahwa sudah merasa cukup dengan hadist-hadist yang
dihimpun ulama-ulama Mutakadimin. Oleh sebab itu dirasakan tidak perlu
lagi melakukan lawatan ke berbegai negeri untuk mencari hadist. Semangat
yang tumbuh pada masa ini adalah semangat untuk memelihara. Jadi para
ulama periode ini berlomba-lomba untuk mengahafal sebanyak-banykanya
hadist yang sudah terkodifikasi.
Selain
itu ulama dalam periode ini berusaha memperbaiki susunan kitab,
mengumpulkan yang masih berserakan dan memudahkan jalan-jalan
pengumpulan hadist. Usaha-usaha perbaikan tersebut memunculkan beberapa
Kitab hadist diantaranya:
kitab syarh,
yang mengomentari kitab hadist tertentu. Selain itu juga muncul kitab
Mustakhraj, yaitu kitab hadist yang memuat hadist dari kitab hadist yang
ada, dengan sanad sendiri yang berbeda dengan sanad hadist rujukannya.
kitab Atraf
yang menyebut hanya sebagian dari matan atau tesk hadist, kemudian
menjelaskan seluruh sanad dari matan itu baik sanad dari kitab yang
dikutip maupun kitab lain.
kitab Mustadrak, yang menghimpun hadist-hadist yang memiliki syarat-syarat Bukhori Muslim atau salah satu dari keduanya saja.
kitab Jam’i yang menghimpun hadist-hadist yan telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
g. Periode ketujuh
Periode
ketujuh bisa dikatakan periode pensyarahan, perhimpunan, pentarjihan
serta pengeluaran riwayat. Periode ini bertepatan dengan masa
penghancuran Kota Bagdad sebagai pusat pemerintahan Abbasiyah oleh
pasukan Hulugu Khan (656 H). Akibat dari kejadian itu maka pindahlah
pemerintahan Abbasiyah ini ke Cairo Mesir, namun kholifahnya hanya
simbol saja, sedangkan yang berkuasa pada hakekantnya adalah Raja Mesir
dari Mamalik.
Pada
akhir abad ke 7 Turki menguasai daerah-daerah Islam kecuali daerah
barat (Maroko dan sebagainya). Bahkan pada abad 9 Turki di bawah
pemerintahan Ottoman (dinasti Ustmaniyah) merebut Kota Konstantinopel
dan dijadikan ibukotanya. Kemudian menakhlukkan Mesir dan melenyapkan
Kholifah Abbasiyah. Sejak itu kholifah islamiyah ini dipindahkan ke Kota
Konstantinopel dan sejak itu raja Turki memakai sebutan Kholifah. Turki
semakin kuat dan daerahnya makin luas, tapi sayangnya pada waktu yang
sama pemerintahan Islam di Andalus hancur. Maka padamlah cahaya Islam
yang pernah menerangi negeri tersebut selama kurang lebih delapan abad.
Kemudian imperialisme Barat berhasil menakhlukkan negeri-negeri Islam.
Dan sejak itu Islam mengalami kemunduran.
Situasi
dan kondisi tersebut secara otomatis juga menggeser cara penerimaan dan
penyampaian hadist. Mereka kadang-kadang menggunakan jalan surat
menyurat dan ijazah. Maksudnya adalah sang guru memberikan izin kepada
sang murid untuk meriwayatkan hadist dari guru tersebut. Pada dekade ini
jarang sekali detemuakan ulama-ulama yang mampu menyampaikan
periwayatan hadist beserta sanadnya secara hafalan yang sempurna. Yang
umum adalah mempelajari kitab-kitab hadist yang ada, mengembngkannya,
membuat pembahasan-pembahasannya atau membuat ringkasan-ringkasan.