Subscribe:

Rabu, 20 November 2013

cara penyampaian sebuah hadist

Pengertian
Sebelum kita masuk kedalam inti dari masalah proses transmisi hadist, pertama kita harus tahu dulu apa pengertian atau makna dari transmisi. Transmisi adalah penyampaian atau peralihan atau penyebaran. Jadi transmisi hadist bisa di artikan yaitu proses peralihan atau perpindahan serta suatu hadist dari sanad ke sanad sampai ke perawi.
Menurut istilah ilmu hadits, yang dimaksud dengan al-riwayat ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits, serta penyandaran hadits itu kepada rangkaian para periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadits dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadits itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut orang yang telah melakukan periwayatan hadits. Atau ketika dia menyampaikan hadits kepada orang lain tanpa menyebutkan sanad maka dia juga bukan orang yang melakukan periwayatan hadits.[1] Jadi ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits, yakni: 1 Kegiatan menerima hadits dari periwayat hadits; 2 Kegiatan menyampaikan hadits itu kepada orang lain; 3 Ketika hadits itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya(sanad) disebutkan.

  1. Cara nabi menyampaikan hadistnya
    1. Cara rasulullah menyampaikan haditsnya pada dasarnya dengan cara natural saja. Ada masalah lalu dia memberikan penyelesaian.
    2. Dengan lisan dan perbuatan, dihadapan orang banyak, di mesjid, pada waktu malam dan subuh.
    3. Dalam bentuk tulisan. Banyak riwayat menyatakan bahwa nabi telah berkirim surat kepada kepala Negara dan pembesar daerah yang non-Islam.

  1. Periwayatan hadits pada jaman nabi sampai zaman sesudah generasi sahabat nabi
Berbagai hadist Nabi yang temaktub di kitab-kitab hadist sekarang ini, asal mulanya adalah hasil kesaksian sahabat nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau hal-ihwal Nabi.
Cara periwayat memperoleh dan menyampaikan hadits pada zaman nabi tidaklah sama dengan pada zaman sahabat nabi. Demikian juga dengan pada zaman sahabat nabi tidaklah sama dengan zaman sesudahnya.
a. Periode Pertama: Perkembangan Hadits pada Masa Rasulullah SAW
     Pada saat inilah hadits lahir berupa sabda (aqwal), af’al dan traqrir Nabi yang berfungsi menerangkan al-qur’an dalam rangka menegakkan syari’at islam dan membentuk masyarakat Islam. Para sahabat dapat menghafal dengan baik ajaran-ajaran Rasul karena di samping dorongan keagamaan, mereka juga mempunyai hafalan yang kuat, ingatan yang teguh serta kecerdasan dan kecepatan dalam memahamu sesuatu. Hadits diterima para sahabat baik secara langsung maupun tidak langsung dari segala kegiatan Nabi semasa hidup beliau. Majlis Nabi semuanya merupakan majlis ilmiah, perilaku, penuturan, isyarat, dan diamnya merupakan pedoman bagi hidup dan kehidupan ummat islam.
     Penerimaan hadits secara langsung misalnya sewaktu Nabi SAW memberi ceramah, pengajian, khutbah atau penjalasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun yang tidak langsung seperti mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan utusan, baik utusan dari Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang dating kepada Nabi SAW. Hadits yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena, para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadits nabi kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Mereka( sahabat) secara bergantian menemui nabi. Seandainya Umar tidak datang maka berita dari nabi akan disampaikan oleh sahabat lainnya kepadanya. Karena kecakapan baca tulis dikalangan sahabat masih kurang, maka Nabi menekankan untuk menghafal hadits, memahami, memelihara, memantapkan dalam amalan sehari-hari, serta mentablighkannya kepada orang lain. Proses penyampaian hadits pada masa nabi bisa dibilang lancar. Kelancaran ini terjadi karena 2 hal yaitu:
  1. Cara penyampaian hadits oleh rasulullah secara langsung.
  2. Minat yang besar dari para sahabat. 

b. Periode Kedua: Perkembangan Hadits pada Masa Khulafa al-Rasyidin (11H-40 H)
  1. Pada masa Abu Bakar As-Shiddiq
Abu bakar merupakan sahabat nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadits.[2] Beliau sangat berhati-hati dengan periwayatan hadist. Ini didasarkan pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Beliau tidak melihat petunjuk Quran dan praktek nabi yang memberikan harta warisaan kepada nenek. Lalu ia bertanya kepada sahabat-sahabat yang lain. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa nabi memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Namun Abu Bakar tidak langsung percaya terhadap perkataan sahabat tersebut. Dia meminta sahabat tersebut untuk mendatangkan saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian.
Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadits, maka dapat dimaklumi bila jumlah hadits yang diriwayatkannya relative tidak banyak.[3] Data sejarah tentang kegiatan periwayatan hadits dikalangan umat islam pada masa khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini karena pada pemetintahan Abu Bakar tersebut, umat islam dihadapkan ancaman dan kekacauan yang membahayakan pemerintahan dan Negara.
  1. Pada masa Umar Bin Khattab
Pada masa Umar penyebaran hadits kurang berjalan. Karena pada masa umar lebih memfokuskan pada membaca dan mendalami Quran. Akan tetapi lebih banyak dari masa Abu Bakar. Namun pada masa Umar para perawi terkekang karena Umar sangat tegas. Beliau sangat berhati-hati. Karena umar ingin ummat lebih konsentrasi dengan Quran dan lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits.
  1. Pada masa Utsman Bin Affan
Secara umum, kebijakan Utsman tentang periwayatan sama seperti khalifah sebelumnya. Namun langkah yang dijalani Utsman tidaklah setangkas Umar bin Khattab. Utsman meminta kepada para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits yang tak pernah didengar pada masa Abu Bakar dan Umar.[4] Penyebaran hadits pada masa Utsman lebih banyak dibanding dengan khalifah Umar bin Khattab. Karena wilayah islam meluas dan perawi jumlahnya bertambah dan meluas.
  1. Pada masa Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Thalib pun tidak jauh berbeda sikapnya dengan para pendahulunya dalam periwayatan hadits. Secara umum ali bersedia menerima riwayat hadits Nabi setelah periwayat hadits mengucapkan sumpah, bahwa hadits itu benar-benar berasal dari Nabi. Hanya dengan periwayat yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta untuk bersumpah.
Transmisi hadits pada masa Ali juga sangat hati-hati seperti para pendahulunya. Akan tetapi pada masa Ali, kondisi politik sudah makin menajam. Hal ini menjadi dampak negatif dalam penyebaran hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits.[5]Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya.
Periode ini disebut “Ashr al-Tatsabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah” (Masa pematerian dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11H. kepada umatnya beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu al-Qur’an dan  Hadits yang harus dipegangi bagi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat.
Adapun perhatian Khulafa al-Rasyidin terhadap Hadits pada dasarnya adalah:
  1. Para Khulafa al-Rasyidin dan para sahabat berpegang bahwa hadits adalah dasar Tasyri’, maka setiap malam syariat islam selalu nerpedoman kepada Hadits bersama-sama atau selalu berpedoman kepada ketentuan al-Qur’an.
  2. Para sahabat berusaha mentablighkan segala Hadits yang diterima mereka. Dalam prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni;
  • Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
  • Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya  karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi SAW.
     Adapun menulis Hadits masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi, walaupun Khalifah Umar pernah mempunyai gagasan untuk membukukan Hadits, namun niatan tersebut diurungkan setelah beliau melakukan shalat istikharah. Para sahabat tidak melakukan penulisan Hadits secara resmi karena pertimbangan-pertimbangan:
  1. Agar tidak memalingkan perhatian ummat dari Al-qur’an. Perhatian sahabat masa khulafa al-rasyidin adalah pada Al-qur’an seperti tampak pada urusan pengumpulan dan pembukuannya hingga menjadi mushaf.
  2. Para sahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis Hadits.

c. Periode Ketiga: Perkembangan Hadits pada Masa Sahabat Kecil dan Thabi’in (40 H-100 H)
     Pada masa ini daerah islam meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkhand bahkan pada tahun 93 Hijriyah sampai ke Spanyol. Pengalaman generasi setelah sahabat, yakni sahabat kecil dan tabi’in, yang memerlukan untuk mengetahui hadits-hadits Nabi SAW. Mereka kemudian berangkat mencari hadits, menanyakan dan belajar dari para sahabat besar yang sudah tersebar di seliruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah. Karena meningkatnya periwayatan Hadits tersebut, maka muncullah bendaharawan-bendaharawan Hadits, dan muncul pula lembaga-lembaga Hadits di berbagai daerah di seluruh negeri.
     Penghimpunan Hadits pada periode ini masih campur dengan perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan pada abad sebelumnya yang masih berbentuk lembaran-lembaran yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam beberapa bab secara tertib pada masa ini sudah dihimpun perbab. Materi yang diperoleh dari periwayatan sahabat atau tabi’in sebelumnya baik secara tulis maupun lisan.
   
d. Periode Keempat dan Kelima: Perkembangan Hadits pada Abad Kedua dan Ketiga Hijriyah (100 H-200 H & 200 H-300 H)
      Periode keempat disebut “Ashr al-Kitabah wa al-Tadwin” (masa penulisanan pembukuan). Maksudnya penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan atas inisiatif pemerintah secara umum. Sebab jika secara perorangan  sebelum abad 11 H, Hadits sudah banyak ditulis baik pada masa tabi’in, sahabat kecil, sahabat besar bahkan sejak masa Nabi SAW. Metode penyampaian pada masa ini ialah: Si pengarang menghimpun Hadits-hadits mengenai masalah yang sama dalam satu bab, kemudian bab ini dikumpulkan dengan bab lain yang berisi masalah-masalah lain dalam satu karangan; dan dalam kitab ini masalah bercampur antara hadits dengan fatwa sahabat dan tabi’in
     Masa ini dapat dianggap masa yang paling sukses dalam pembukuan Hadits, sebab pada masa ini ulama Hadits telah berhasil memisahkan Hadits-hadits Nabi dari yang bukan Hadits (fatwa sahabat dan tabi’in) dan telah berhasil pula mengadakan penyaringan yang sangat teliti terhadap apa saja yang dikatakan Hadits nabi (diteliti matan dan sanadnya).



e. Periode Keenam dan Ketujuh: Perkembangan Hadits pada Masa Mutaakhirin (300 H-…)
     Periode keenam disebut “Ashr al-Tahdzib wa al-Tartib wa al-Istidrak wa al-Jami’i” (masa pembersihan, penyusunan, penambahan dan pengumpulan). Ulama yang hidup sebelum tahun 300 H disebut ulama Mutaqaddimin, yang menghimpun Hadits-hadits Nabi dalam kitabnya, tidak mengutip dari kitab-kitab hadits yang ada sebelumnya, tetapi dengan jalan mendengar langsung Hadits-hadits itu dari guru-gurunya dan mengadakan penelitian sendiri tentang matan Haditsyna dan perawi-perawinya. Setelah mereka mengadakan penelitian yang seksama telah berhasil menghimpun Hadits-hadits Nabi antara lain “Kutub Sittah”.
      Sedangkan ulama yang hidup sesudah tahun 300 H disebut ulama Mutaakhkhirin.
Periwayatan Hadits pada masa Mutakhkhirin dengan berpegang pada kitab-kitab Hadits yang sudah ada. Usaha mereka hanya terbatas pada penyusunan hadits-hadits secara lebih sistematis atau membuat ulasan terhadap kitab-kitab Hadits yang sudah ada. Tetapi dalam abad IV H masih terdapat ulama-ulama Hadits yang mempunyai kesanggupan dan kemampuan seperti ilama Mutaqaddimin, meskipun jumlahnya tidak banyak.
     Pada Periode ini penyampaian dan penerimaan Hadits-hadits dilakukan dengan jalan surat-menyurat dan ijazah (ijazah disini maksunya ailah memberi izin kepada murid untuk meriwayatkan  Hadits-hadits yang telah dituliskan oleh seorang guru dalam kitabnya).

  1. Metode menerima hadits dan penyampaiannya
Yang dimaksud dengan jalan menerima hadits (thuruq at- tahammul) adalah cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari Syaikh.
Dan yang dimaksud dengan bentuk penyampaian (sighatul- ada’) adalah lafadh-lafadh yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada muridnya, misalnya dengan kata : sami’tu Aku telah mendengar; haddatsani telah bercerita kepadaku; dan yang semisal dengannya.
Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum baligh.
Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.
Jalan untuk menerima hadits ada delapan, yaitu as-sama’ atau mendengar lafadh syaikh; al- qira’ah atau membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-I’lam, al-washiyyah, dan al-wijadah. Berikut ini masing-masing penjelasannya berikut lafadh-lafadh penyampaian masing-masing :
  1. As-Sama’ atau mendengar lafadh syaikh (guru).
Metode ini bisa berbentuk pendekatan (imlâ’) Hadis atau yang lainnya, bisa dari hafalan dan bisa juga dari tulisan seorang guru Hadis. Menurut jumhur ahli Hadis, ini merupakan metode yang paling tinggi.
Gambarannya : Seorang guru membaca dan murid mendengarkan; baik guru membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarnya, atau mendengar saja, dan tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-sama’ ini merupakan bagian yang paling tinggi dalam pengambilan hadits.
Lafadh-lafadh penyampaian hadits dengan cara ini adalah aku telah mendengar dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya banyak : kami telah mendengar dan telah menceritakan kepada kami. Ini menunjukkan bahwasannya dia mendengar dari sang syaikh bersama yang lain.

  1. Al-Qira’ah atau membaca kepada syaikh. Para ahli hadits menyebutnya : Al-Ardl
Bentuknya : Seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah.
Mereka (para ulama) berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh; apakah dia setingkat dengan as-sama’, atau lebih rendah darinya? Yang benar adalah lebih rendah dari as-sama’.
Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang dibaca si perawi menggunakan lafadh- lafadh : aku telah membaca kepada fulan atau telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar orang membaca dan ia menyetujuinya.
Lafadh as-sama’ berikutnya adalah yang terikat dengan lafadh qira’ah seperti : haddatsana qira’atan ‘alaih – (ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang kepadanya). Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana saja tanpa tambahan yang lain.
  1. Al-Ijazah
Yaitu : Seorang Syaikh mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah :
  • Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,”Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya.
  • Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan,”Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
  • Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,”Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada jamanku”.
  • Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,”Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad- Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
  • Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,”Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”. Bentuk pertama (a) dari beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur ulama, dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para ulama. Ada yang bathil lagi tidak berguna. Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), haddatsana ijaazatan, akhbarana ijaazatan, dan anba-ana ijaazatan (beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).
  1. Al-Munaawalah atau menyerahkan
Al-Munawalah ada dua macam :
  1. Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam- macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,”Ini riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah.
  2. Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan : “Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih. Lafadh-lafadh yang dipakai dalam menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan munawalah ini adalah jika si perawi berkata : nawalanii wa ajazanii, atau haddatsanaa munawalatan wa ijazatan, atau akhbarana munawalatan.
  3. Al-Kitabah
Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam :
  1. Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,”Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
  2. Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.
  3. Al-I’lam (memberitahu)
Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkan daripadanya.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara al-I’lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya.
Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : A’lamanii syaikhi (guruku telah memberitahu kepadaku).
  1. Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.
Riwayat yang seorang terima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin (si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
  1. Al-Wijaadah (mendapat)
Yaitu : Seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadits- haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi. Wijadah ini termasuk hadits munqathi’, karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,”Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau “qara’tu bi khththi fulaanin” (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan matannya.




BAB III
ANALISA DAN KESIMPULAN

3.1 Analisa
               Kita telah membahas berbagai macam metode-metode penyampaian atau peralihan atau penyebaran hadits-hadits. Yang mana dapat dikatakan proses peralihan atau perpindahan serta suatu hadist dari sanad ke sanad sampai ke perawi dengan istilah lain al-riwayat.
                Menurut istilah ilmu hadits, yang dimaksud dengan al-riwayat ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits, serta penyandaran hadits itu kepada rangkaian para periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadits dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadits itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut orang yang telah melakukan periwayatan hadits. Atau ketika dia menyampaikan hadits kepada orang lain tanpa menyebutkan sanad maka dia juga bukan orang yang melakukan periwayatan hadits. Jadi ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits, yakni:
  1. Kegiatan menerima hadits dari periwayat hadits;
  2. Kegiatan menyampaikan hadits itu kepada orang lain;
  3. Ketika hadits itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya(sanad) disebutkan.
 Cara nabi menyampaikan hadistnya
1. Cara rasulullah menyampaikan haditsnya pada dasarnya dengan cara natural saja. Ada   masalah lalu dia memberikan penyelesaian.
2. Dengan lisan dan perbuatan, dihadapan orang banyak, di mesjid, pada waktu malam dan subuh.
3. Dalam bentuk tulisan, banyak riwayat menyatakan bahwa nabi telah berkirim surat kepada kepala Negara dan pembesar daerah yang non-Islam.
            Dari pembahasan-pembahasan di atas kita bias melihat mengenai besarnya perhatian umat islam  terutama para ulamanya dalam memelihara dan menjaga kemurnian ajaran-ajaran Nabi yang berupa hadits-hadits nabi, mulai dari menghafalkan sampai kepada menuliskannya dan membukukannya dalam kitab-kitab Hadits yang tidak terhitung jumlahnya. Dengan usaha-usaha seperti para ulama di atas, maka sampailah hadits-hadits nabi tersebut kepada kita dalam keadaan yang sudah baik, dan kita tidak perlu ragu-ragu lagi menerimanya.

3.2 Kesimpulan
            Proses penyampaian hadits dari masa rasulullah hidup dan setelah wafat tidaklah sama. Semakin lama jarak antara masa hidupnya akan semakin sulit mengontrol menyebaran dan kebenaran hadits tersebut. Sehingga memerlukan kehati-hatian yang tinggi dalam penyebaran hadits tersebut sehingga terhindar dari munculnya hadits palsu.

0 komentar:

Posting Komentar